Artikel ini ditulis oleh Fendy Permadi, warga Indonesia yang juga member page MISS yang pernah berada sendiri di sempadan Indonesia dan Malaysia. Di sana beliau bertugas memperbaiki sempadan Sarawak dan Kalimantan Barat. Artikel ini tidak menyalahkan mana-mana pihak tetapi mahu kita semua berfikir secara rasional, kenapa perlu berperang jika damai itu indah.
Sebenarnya di perbatasan/sempadan sepanjang Kalimantan Barat/Serawak dari Tanjung Datuk hingga Betung Kerihun kurang lebih 1000 km tidak terjadi sesuatu apapun di kedua belah pihak. Ketika muncul berita Tanjung Datuk dan Camar Bulan dicaplok Malaysia yang disebarkan oleh anggota DPR/Parlement Indonesia keadaan sebenarnya di lapangan tidak terjadi apapun, masyarakat di dua dua tempat itu tetap seperti biasa, berjalan apa adanya... Mengapa? Karena memang sedari awal mereka dari 2 negara hidup damai berdampingan... Memang ada sempadan/perbatasan tapi itu hanyalah sebuah garis batas yang hanya ada di peta/map dan itu tidak membatasi apapun di lapangan, warga tetap saling mengunjungi... Pada akhirnya ketika datang anggota DPR/Parlemen Indonesia ke Camar Bulan, tetap koordinat yang telah disepakati ke dua-dua negara masih pada tempatnya. Mengapa anggota DPR/Parlemen Indonesia berbuat seperti itu? Karena mereka membaca map yang berbeda, map yang mereka baca adalah map yang dibuat Inggeris dan Belanda, sedangkan koordinat yang ada sekarang adalah kesepakatan dua negara yang dibuat di Semarang
Itu fakta yang ada. Nah sekarang kehidupan di perbatasan, mulai dari Tanjung Datuk, Camar Bulan, Entikong, Puring Kencana, Badau, Tangit, Lanjak, terus sampai ke Kalimantan Timur infrastruktur jalan sangat sangat tidak memadai, jalan hanya jalan tanah selebar 5 meter, saya saja menempuh jarak 170 km dari Putussibau ke Lanjak perlu waktu 4 jam jika cuaca baik, jika hujan maka sampai 8 jam pun belum tentu sampai. Kebutuhan masyarakat disana tidak dapat mengandalkan bahan pokok dari ibukota propinsi karena jaraknya hingga 900 km dengan waktu tempuh 18 sampai 28 jam, sedang dari lanjak ke Lubok Antu atau Kuching hanya 2 sampai 4 jam. Maka warga banyak melakukan jual beli di Badau, pintu resmi sempadan/perbatasan kedua negara, warga Lanjak dan sekitarnya menjual hasil ikan, karet dan labi-labi yang banyak di dapat di Danau Sentarum, mereka menjual ke saudaranya di Malaysia yang hanya berjarak 20 km, mengapa saya sebut saudaranya karena mereka benar benar bersaudara sedarah, suku Dayak Iban.
Nah dari hasil menjual barang tadi warga membeli gas (Petronas/Shell) untuk kebutuhan memasak, beras, bumbu masak, rokok dan lain lain dari Malaysia, dan selama ini tidak ada pertentangan dari kedua negara, karena mereka mempunyai keistimewaan tersendiri... Yaitu di kedua negara satu suku... Bahkan kereta/mobilpun boleh masuk ke lanjak tanpa proses berbelit, jangan heran, dilanjak banyak kita temui kereta/mobil merk Perodua, Kancil, Proton. Jadi, mengapa kita tidak bisa seperti mereka, hidup berdampingan dengan mesra? Satu bangsa beda negara? Contohlah suku Dayak Iban, kesampingkan semua penghalang... Hidup dalam kebersamaan... Berbeda itu baik, dan lebih baik lagi dengan perbedaan itu kita saling mengisi... Membantu... Dan bersatu menjadi kekuatan yang tak dapat terkalahkan... Dalam hal yang positif tentunya.
- Dikongsikan oleh admin Laksa